Grand Piano

Sabtu, 22 Maret 2014

Dunia Abu-abu dalam Ketidaktahuanku


 Sering kali aku tidak tahu apa-apa tentang kehidupan ini. Tapi tidak jarang juga aku merasa tahu dan terkesan menjadi sok tahu, padahal aku tidak tahu dan sering kali tidak pernah tahu. Ketidaktahuanku sering membuatku bingung dan gelisah, memaksa diri untuk mencari tahu. Tapi tetap saja aku tidak tahu apa-apa. Karenanya, ketidaktahuanku juga membuatku marah. Terlebih ketika seharusnya aku mengetahuinya dan pada kondisi ini: ketidaktahuanku membuatku merasa bodoh dan menjadi korban sebagai yang dibodohi. Sebab mereka tahu, kalau aku tidak akan tahu, padahal seharusnya aku mengetahui kalau aku tidak tahu, dan juga bodoh.
Seperti sering kali aku bertanya, untuk apa aku dilahirkan ke dunia ini? Jika kemudian beban hidup harus aku tanggung dalam ketidak tahuanku akan banyak hal. Hingga seringkali tersesat, terseret arus yang berlawanan dengan tujuan kehidupan itu sendiri. Lebih parahnya lagi, tidak ada yang memberitahuku akan hal ini. Seandainya adapun, mereka tak pernah jelas memberitahuku selain kata-kata tentang baik dan buruk, tentang surga dan neraka, tentang cinta dan kematian.
Tidak ada yang dengan jelas mengatakan bahwa dalam kebaikan itu ada keburukan, seperti ilmu dan kepandaian yang seringkali menggerogoti kerendahan hati. Dan tidak juga mereka memberitahuku, bahwa dalam keburukan ada kebaikan, seperti salah yang dibuat dan ternyata berbuah hikmah. Tidak mereka mengatakan pula, bahwa surga itu adalah dunia ini, dan dunia adalah surga. Tapi neraka juga adalah kehidupan di dunia ini bagi sebagian orang. Dunia ini adalah neraka abadi bernama penderitaan.
Itulah kenapa aku sering merasa tidak tahu. Dunia ini abu-abu, dan tidak pernah jelas artinya. Kecuali tentang Sang Maha sempurna.
Dunia ini adalah panggung sandiwara, yang digelar atas nama kuasa dan harta. Bagi mereka yang telah menjual hati nurani, inilah kesenangan bernama surga.Materi dan kemewahan adalah apa yang mereka cari. Tak perduli nasib anak negeri. Tidak perduli rakyat yang terlukai. Bagi mereka, yang penting hidup tenang, senang dan bisa tertawa bebas, berhaha-hihi.
Dan karena ketidak tahuanku, memang seringkali dibodohi. Wajah cantik dengan bodi seksi. orang-orang pandai lagi seorang priyayi. Tetap saja hobinya tipu sana-sini, berlagak arif dan serigkali mengubar janji. Padahal yang diinginkan adalah menduduki kursi dan memiliki jabatan tinggi, biar gampang melakukan lobi-lobi. Syaratnya hanya membuat si tuan besar merasa senang hati, biar diangkat jadi menteri. Ah, kelakuannya semakin menjadi-jadi kalau sudah begini.
Mereka membuatku marah, merasa dibodohi sebab ketidak tahuanku akan kehebatan mereka menjalani peran. Siapa yang akan tahu jahatnya sebuah konspirasi. Yang menjadi tumbal tidak pernah tahu, siapa sebenarnya yang berada di belakang semua aksi. Mereka juga dibodohi, sebab ketidaktahuan mereka sebagaimana aku.
Boleh jadi dalam ruang sidang mereka bersaksi dan kebusukan tidak lagi bisa lagi ditutup-tutupi. Betapa senang hati seluruh rakyat negeri ini. Lalu menghujat, melaknat, membenci dan melepas kemarahan yang lama terpendam di dalam hati. Tapi siapa yang akan tahu pasti dalang dari semua ini? Bisa jadi ini hanya sekedar mencari sensasi atau jalan sebuah konspirasi. Toh mereka yang dianggap telah pergi sepertinya akan kembali, hanya masih bersabar dalam menanti. Dan kita tidak tahu apa yang mereka cari dan yang mereka ingini. Akhir cerita selalu saja rakyat yang merugi, disakiti, dilukai dan selalu dibodohi.
Dunia ini memang abu-abu. Seringkali aku merasa tidak tahu, meski tak jarang merasa tahu dan terkesan sok tahu. Padahal aku tidak tahu apa-apa, dan seringkali merasa tidak pernah tahu.
 repost : http://fiksi.kompasiana.com/cermin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar